Kamis, 07 Oktober 2010

Sri Suharti

Di penghujung usia 70an tahun, semangatnya menekuni fotografi tetap besar. Terlahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara, Sri Suharti mulai memotret sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bersenjata kamera Rolleicord milik temannya, Sri Suharti [kelahiran 10 Agustus 1930] mulai menekuni dunia fotografi. Ia menjadikan teman-teman sekolahnya sebagai model ndeso [gaya desa] -meminjam istilah Sri Suharti sendiri. Padahal, pada waktu itu belum banyak orang yang memiliki kamera film berformat 120 milimeter. Kegemaranannya di jagat gambar film semakin kuat ketika ayahnya menghadiahi kamera saat Sri duduk di bangku sekolah menengah pertama khusus putri di Pasar Legi, Solo.
Agresi Belanda yang memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan di kota Solo menyebabkan Sri Suharti tidak sempat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ia masih ingat pada waktu rumahnya di Panularan dijadikan dapur umum para pejuang yang bergerilya melawan Belanda. Bahkan ia sempat terjun ke dalam kancah pertempuran sebagai spion gerilyawan yang dipimpin Slamet Riyadi di Solo. Sri Suharti sempat mengabadikan para pejuang yang bersembunyi di rumahnya. “Saya tidak tahu apakah masih ada sisa-sisa gambar para pejuang itu,” ujarnya
Kegemaran Sri memotret nyaris terkubur setelah ayahnya tutup usia pada tahun 1950. Selama empat tahun setelah ayahnya meninggal dunia, praktis ia tak banyak menyalurkan hobi memotret lagi. “Sehari-hari kerjaannya hanya melamun dan merenungi nasib,” ujarnya. Keadaan berubah setelah ia menerima pinangan Murjito, seorang pegawai negeri bagian dokumentasi dan humas di Balai Kota Surakarta pada tahun 1954.
“Setelah menikah dengan Mas Murjito, mulai tumbuh semangat memotret kembali,” ingatnya. Masih menggunakan kamera pinjaman merk Rolleiflex dan Rolleicord, Sri kembali menekuni dunia yang nyaris dilupakannya. Suaminya, Murjito, mendorongnya untuk kembali bergelut menekuni dunia fotografi dan mengabadikan berbagai peristiwa di kota Solo pada tahun 1970-an. “Mungkin hampir 16 tahunan lebih saya ndak memotret,” ujarnya mengenang.
Meski suaminya seorang pegawai negeri di lingkungan Balai Kota, kehidupan keluarganya tetap bersahaja. Kehidupannya mulai membaik ketika Sri Suharti memperoleh kepercayaan memotret di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Ia mendapat tawaran job saat keraton menyelenggarakan kegiatan keluarga. Karena hasil yang memuaskan, ia dipercaya menjadi salah satu fotografer ndalem Keraton Surakarta pada pertengahan tahun 1970an. Ia masih ingat betul, pada saat seorang anak Paku Buwono X memintanya memotret acara ulang tahun seorang putri keraton. Ia diminta menggunakan film berwarna. “Sejak saat itulah saya menggunakan film berwarna,” katanya.Sejak menjadi fotografer resmi kraton, pesanan memotret pun berdatangan. Bahkan seorang jenderal pernah pula memberikan order besar dalam acara duka di Sukoharjo, ketika salah satu anggota tentara pasukan Garuda meninggal di Kairo, Mesir. Honor yang diperolehnya waktu itu cukup besar, yaitu Rp 25 ribu. “Saya gunakan kamera Zeiss Icon 645 yang sering saya pakai pada event penting,” tuturnya.
Karena kesetiaannya mengabdi, Sri Suharti ditawari gelar kehormatan dari keraton, namun tidak serta merta gelar itu diterimanya. Anak bungsunya, yang juga bekerja sebagai abdi dalem keraton, lantas mengurus hal-hal yang berkaitan dengan penganugerahan gelar untuk ibunya. Tahun 2000, setelah 20 tahun mengabdi, barulah Sri Suharti mau menerima gelar Nyi Lurah Listyowati dari keraton. Pada tahun 2006 jenjangnya dinaikkan kembali dan ia memperoleh gelar baru, Nyi Tumenggung Trisno Prasetyaningtyas.
Sri Suharti tetap rendah hati dan tidak pernah membuat jarak dengan orang-orang yang akan difoto ataupun para abdi dalem lain. Bersama keenam anaknya ia tetap menempati rumah kecil ukuran 6X10 meter-persegi di pinggiran kota Solo. Cucunya kini sudah 17 orang.
Berkat ketekunannya di fotografi, Sri Suharti hingga kini memiliki koleksi beberapa kamera bermutu. Bahkan ia pernah menerima hadiah kamera dari sosok-sosok fotografer terkemuka di Jakarta. “Saya diberi Mas Darwis Canon Ftb, Seagull, Nikon EM, Nikon FM2 berikut flash Metz CT 60 lawas,” katanya. “Lumayan buat motret, tambahan uang jajan cucu-cucu. Sekali jepret bisa 10 ribu sampai 25 ribu rupiah. Tergantung yang akan dipotret,” tambahnya. Selama menggeluti hobi itu, seabrek pengalaman dikantonginya. Selain bisa mengoperasikan kamera manual maupun digital, pengalaman pahit dan senang pun silih berganti ditemui. Misalnya, jari kelingking sebelah kanannya sempat putus ketika menumpang becak menuju kraton. "Becak yang saya tumpangi jatuh ke sungai, ketika akan berangkat motret di keraton, sekitar tahun 1975. Jari kelingking saya luka parah dan harus diamputasi," tutur Sri.
Pengalaman pahit lain juga ditemui ketika hendak pulang ke rumah usai memotret acara di kraton. Ketika itu, dia dijemput anaknya menggunakan kendaraan bermotor. Sampai di tengah jalan, sepedanya ditabrak mobil. Akibatnya, lengan kirinya sempat cidera parah. Tapi beruntung, semua cedera itu tidak sampai mengganggu aktivitasnya menekuni fotografi.
Di balik kenangan pahit itu, Sri sering dapat pengalaman menantang. Sekitar 1976, dia ditantang salah satu paranormal untuk memotret senjata di petilasan Sri Aji Joyoboyo, Jawa Timur. Petilasan itu ketika dia ditantang masih dijaga oleh prajurit TNI. "Saya izin sang komandan, Laksamana Sudomo. Akhirnya, diperbolehkan motret senjata para prajurit," terang Sri.
Sri masih bertahan menggeluti profesi itu hingga kini. Sebab, dia harus mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Suwarangwati Ciptaningsih, anaknya, menyatakan sang ibu sering berkata akan tetap menggeluti profesinya sampai nyawa dijemput. "Ibu tidak mau berhenti motret Inginnya tetap motret sampai nyawa dijemput Tuhan," tutur Watik,


 http://forum.nationalgeographic.co.id/topic-479.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar